OLEMIK mengenai kerugian (keuangan) negara dalam
aktivitas bisnis terutama yang dilaksanakan oleh badan usaha milik
negara (BUMN) muncul ketika Undang-Undang Pemberantasan Korupsi (UU
Tipikor) Tahun 1999 mencantumkan, kerugian keuangan negara merupakan
salah satu unsur dari tindak pidana korupsi (Pasal 2 dan Pasal3).
Penyusun
UU Tipikor 1999 tidak mengantisipasi bakal terjadi polemik tersebut
dengan pertimbangan bahwa korupsi identik dan melekat pada jabatan
negara juga melekat pada penerimaan dan pengeluaran dana APBN/APBD serta
penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Namun, penjelasan Pasal 2 dan
Pasal 3 tidak menjelaskan makna dari pengertian istilah “kerugian
keuangan negara” sehingga menimbulkan tafsir berbeda-beda baik dari
sudut pandang hukum keuangan negara maupun hukum administrasi negara dan
hukum pidana.
Polemik sering hanya mempersoalkan definisi
tentang kerugian keuangan negara implisit di dalamnya terkait definisi
keuangan negara. Sedangkan dalam konteks UU Tipikor 1999, kerugian
keuangan negara merupakan akibat dari perbuatan yang bersifat melawan
hukum (unsur pertama) dan terdakwa, orang lain atau korporasi telah
turut menikmati keuntungan dari perbuatan melawan hukum sehingga negara
dirugikan.
Intinya adalah kerugian keuangan negara tidak mutatis
mutandis telah terbukti tindak pidana korupsi jika tidak
terbuktiunsurmelawanhukumapalagi unsur menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau korporasi, apalagi tidak terbukti pula unsur
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atausarana yang ada pada
terdakwa karena jabatan atau kedudukannya. Dalam konteks pembuktian
unsur kerugian keuangan negara justru polemik beralih kepada persoalan
definisi keuangan negara, bukan pada kerugian keuangan negara.
Sejatinya,
tidak ada relevansi antara persoalan kerugian keuangan negara dan
persoalan apakah yang dimaksud dengan keuangan negara di sisi lain. Ini
disebabkan persoalan terakhir berada pada ranah hukum administrasi
keuangan negara yang telah diatur dalam baik UU RI Nomor 17 Tahun 2003,
UU RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU RI Nomor
15 Tahun 2006 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara.
Sekalipun terdapat dua persoalan hukum yang
berbeda satu sama lain, tetapi kedua persoalan tersebut berkaitan ketika
sampai pada pembuktian mengenai kerugian keuangan negara. Karena baik
penyidik, penuntut, atau hakim memerlukan penjelasan mengenai arti
istilah keuangan negara dari ahli hukum keuangan negara untuk membantu
memperjelas dalam kaitan siapa bertanggung jawab terhadap apa.
Di
sinilah letak kekeliruan para aktor yang berpolemik karena mereka hanya
fokus pada unsur kerugian keuangan negara tanpa mempertimbangkan secara
hati-hati dan teliti unsur lain dalam tindak pidana korupsi sebagaimana
telah diuraikan di atas. Kekeliruan tafsir hukum yang disebabkan
perbedaan optik pandang para ahli hukum keuangan dan ahli hukum
administrasi, ahli hukum perdata, dan ahli hukum pidana terjadi
disebabkan rumusan ketentuan mengenai definisi keuangan negara yang
sangat luas.
Dengan begitu, identik dengan pengertian kekayaan
negara yang merupakan genusnya, apalagi definisi tersebut mencakup dana
yang diterima melalui penggunaan fasilitas negara. Perluasan terakhir
mengakibatkan status BUMN dan pihak lain yang bekerja sama dengan BUMN
berada pada status abuabu (grey-area).
Dari sudut hukum, status
tersebut sangat rentan dan tidak ada kepastian perlindungan hukum
terkait penguatan iklim bisnis yang sehat dan kompetitif. Kejernihan
pemikiran dan kebijakan para ahli dan pengambil kebijakan serta penegak
hukum termasuk hakim sangat diperlukan untuk mendudukan masalah kerugian
keuangan negara pada umumnya, khususnya terkait fungsi dan peranan
swasta terutama BUMN sebagai tulang punggung perekonomian negara Fungsi
dan peranan hukum pidana yang benar adalah bersifat ultimum remedium
yaitu hanya digunakan jika sanksi hukum administrasi dan sanksi hukum
perdata tidak lagi dapat dipertahankan.
Fungsi dan peranan hukum
pidana dapat bersifat primum remedium dalam tiga hal. Pertama, kerugian
akibat perbuatan melawan hukum sangat besar. Kedua, kerugian tersebut
tidak dapat dipulihkan. Ketiga, pelakunya recidivist(de Blunt). Dalam
konteks kerugian keuangan negara sejalan dengan tiga undang-undang
terkait keuangan negara telah ditegaskan bahwa penyelesaian kerugian
keuangan negara sekalipun sebagai akibat perbuatan penyelenggara
negara/daerah yang bersifat melawan hukum harus melalui jalur sanksi
administratif yaitu pengembalian kerugiannegara yangdiawasiBPKRI.
Pintu
masuk kerugian keuangan negara menjadi kerugian keuangan negara yang
berindikasi pidana ditentukan oleh BPK RI, bukan oleh penyidik apalagi
penuntut. Jika BPK RI berpendapat bahwa kerugian keuangan negara sebatas
diperlukan tindakan administratif (administrative measures), penyidik
dan penuntut tidak memiliki wewenang lebih jauh memasuki wilayah
keuangan negara yang secara administratif merupakan wilayah pengawasan
BPK RI.
Penyidik dan penuntut wajib menghormati langkah dan
keputusan BPK RI karena lembaga ini satu-satunya lembaga konstitusional
yang berwenang memeriksa keuangan negara, kinerja lembaga negara, dan
atas harta kekayaan negara yang dipisahkan. Terkait kerugian keuangan
negara dalam aktivitas BUMN sesungguhnya dalam UU RI Nomor 19 Tahun 2003
tentang BUMN telah jelas diterangkan struktur organisasi dan mekanisme
kerja BUMN yang tunduk pada kekuatan hukum UU RI Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, berbeda dengan suatu perusahaan umum
(perum).
Indikasi pidana di dalam aktivitas BUMN atau perseroan
terbatas lainnya memiliki alas hukum yang jelas, tercantum dalam
ketentuan Pasal 155 UU tersebut yang menyatakan bahwa tanggung jawab
(perdata) direksi atau anggota dewan komisaris tidak terlepas dari
tuntutan pidana. Ketentuan ini kekeliruan yang sangat fatal dari
pembentuk UU karena telah mencampuradukkan tanggung jawab perdata dan
tanggung pidana yang sesungguhnya memiliki perbedaan mendasar satu sama
lain.
Di sinilah letak kekisruhan dan polemik berkepanjangan
terkait aktivitas bisnis di Indonesia sehingga tidak jelas lagi mana
yang termasuk risiko bisnis dan risiko akibat perbuatan melawan hukum
yang berindikasi pidana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar