Kamis, 31 Oktober 2013

pengertian keuangan daerah



Pada saat ini para ahli serta penulis sangatlah sedikit mengemukakan pengertian akan Keuangan Daerah, padahal Keuangan Daerah menjadi elemen yang pokok terhadap aktivitas penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut :
“Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam ketentuan umum Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, adalah sebagai berikut :
“Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.”
Sedangkan pengertian keuangan daerah menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 (yang sekarang berubah menjadi Permendagri Nomor 13 Tahun 2006) tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) adalah :
Semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termaksud didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah, dalam kerangka anggaran pendapatan dan belanja daerah.”
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas, pada prinsipnya keuangan daerah memiliki unsur pokok, yaitu :
-       Hak Daerah;
-       Kewajiban Daerah;
-       Kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban tersebut.
Disamping memiliki unsur-unsur pokok diatas, pengertian keuangan daerah selalu melekat  dengan  pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yaitu : suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan. Selain itu, APBD merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab.

Rabu, 30 Oktober 2013

pengertian keuangan negara

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menyelenggarakan pemerintahan Negara dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara inilah, negara menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang, sehingga berkonsekuensi pada timbulnya hak dan kewajiban negara, termasuk berkaitan dengan keuangan negara. Khususnya di Indonesia, pengertian keuangan negara dapat ditemukan pada Undang-undang (UU) No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, khususnya pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa pengertian Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Untuk memahami pengertian di atas, maka keuangan negara dapat dilihat dari berbagai pendekatan berikut ini, yaitu:

  1. Dari sisi obyek, Keuangan Negara merupakan semua hak dan kewajiban negara dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang dapat dinilai dengan uang, misalnya: kebijakan pemberian ataupun pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan kebijakan pemungutan pajak terhadap rakyat, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut, misalnya: dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan kendaraan dinas pejabat negara atau pemerintahan.
  2. Dari sisi subyek, Keuangan Negara merupakan seluruh obyek keuangan negara yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara, misalnya: uang yang ada di kas negara dan barang-barang yang dimiliki oleh pemerintah daerah.
  3. Dari sisi proses, Keuangan Negara merupakan seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek keuangan negara mulai dari perumusan kebijakan, penetapan regulasi, penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD) sampai dengan pertanggungjawaban APBN/APBD.
  4. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek keuangan negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
Sedangkan pada penjelasan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud dengan keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
  1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
  2. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD), yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Dari kedua pengertian keuangan negara tersebut maka dapat disimpulkan bahwa keuangan negara tidak hanya terbatas pada uang semata, tetapi termasuk segala hak dan kewajiban negara (dalam bentuk apapun) yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu yang dapat dijadikan milik negara, baik yang berada dalam penguasaan pemerintah maupun penguasaan pihak lain selain pemerintah

Selasa, 29 Oktober 2013

pengertian sistem keuangan daerah

Pengertian sistem  adalah suatu kerangka dari prosedur-prosedur yang saling berhubungan yang disusun sesuai dengan suatu skema yang menyeluruh, untuk melaksanakan suatu kegiatan atau fungsi utama dari suatu organisasi, sedangkan prosedur-prosedur yang saling berhubungan disusun sesuai dengan skema yang menyeluruh adalah suatu urut-urutan pekerjaan kerani (clerical), biasanya melibatkan beberapa orang dalam satu bagian atau lebih, disusun untuk menjamin adanya perlakuan yang seragam terhadap transaksi-transaksi yang terjadi dalam suatu organisasi (Baridzwan,1998 : 3).

Menurut Jaya (1999 :11) keuangan daerah adalah seluruh tatanan, perangkat kelembagaan dan kebijaksanaan anggaran daerah yang meliputi pendapatan dan belanja daerah. Menurut Mamesah ( 1995 :16 ) keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa  uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi, serta pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

Mardiasmo ( 2000 : 3 ) mengatakan bahwa dalam pemberdayaan pemerintah daerah ini, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah :

  1. pengelolaan keuangan daerah  harus bertumpu pada kepentingan publik  (public oriented);
  2. kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumya dan anggaran daerah pada khususnya;
  3. desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, KDH, Sekda dan perangkat daerah lainnya;
  4. kerangka hukum dan administrasi atas pembiayaan, investasi dan pengelolaan keuangan daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas;
  5. kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH dan PNS Daerah, baik ratio maupun dasar pertimbangannya;
  6. ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja, dan anggaran multi-tahunan;
  7. prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih professional;
  8. prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, peran akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik;
  9. aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi, dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah;
  10. pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi.

Pengelolaan keuangan daerah berarti mengurus dan mengatur keuangan daerah itu sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989 : 279-280) adalah sebagai berikut.
  1. Tanggung jawab (accountability). Pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan keuangannya kepada lembaga atau orang yang berkepentingan sah, lembaga atau orang itu adalah Pemerintah Pusat, DPRD, Kepala Daerah dan masyarakat umum.
  2. Mampu memenuhi kewajiban keuangan. Keuangan daerah harus ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua kewajiban atau ikatan keuangan baik jangka pendek, jangka panjang maupun pinjaman jangka panjang pada waktu yang telah ditentukan.
  3. Kejujuran. Hal-hal yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah pada prinsipnya harus diserahkan kepada pegawai yang benar-benar jujur dan dapat dipercaya.
  4. Hasil guna (effectiveness) dan daya guna (efficiency). Merupakan tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dalam waktu yang secepat-cepatnya.
  5. Pengendalian. Aparat pengelola keuangan daerah, DPRD dan petugas pengawasan harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut dapat tercapai

Senin, 28 Oktober 2013

pengertian keuangan negara

Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 UU Nomor 17 Tahun 2003).

Menurut PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Keuangan Daerah merupakan semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.  Demikian juga menurut Permendagri No. 13/2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan bahwa Keuangan Daerah merupakan semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.

Ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan keuangan negara, antara lain:
1.      Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

2.      Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Sementara itu, pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.

3.      Belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Sedangkan belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.

4.      Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

5.      Manajemen keuangan negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara  sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, dalam mengelola keuangan negara yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pelaporan dan pertanggungjawaban.

6.      Manajemen keuangan daerah adalah fungsi Pemerintah Daerah untuk mengelola keuangan mulai dari merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi berbagai sumber keuangan sesuai dengan kewenangannya dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan di daerah yang diwujudkan dalam bentuk APBD (Tjahya Supriyatna, 1992).

Dalam Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945, secara berturut-turut ditegaskan, APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

Minggu, 27 Oktober 2013

peengertian ruang lingkup keuangan negara

  1. Pengertian Keuangan Negara
Definisi keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dinyatakan bahwa pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan. Dari sisi objek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh subjek yang memiliki/menguasai objek sebagaimana tersebut di atas, yaitu: pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. 
Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. 
Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
Berdasarkan pengertian keuangan negara dengan pendekatan objek, terlihat bahwa hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang diperluas cakupannya, yaitu termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. 
Dengan demikian, bidang pengelolaan keuangan negara dapat dikelompokkan dalam:
a. subbidang pengelolaan fiskal,
b. subbidang pengelolaan moneter, dan
c. subbidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.  
Pengelolaan keuangan negara subbidang pengelolaan fiskal meliputi kebijakan dan kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mulai dari penetapan Arah dan Kebijakan Umum (AKU), penetapan strategi dan prioritas pengelolaan APBN, penyusunan anggaran oleh pemerintah, pengesahan anggaran oleh DPR, pelaksanaan anggaran, pengawasan anggaran, penyusunan perhitungan anggaran negara (PAN) sampai dengan pengesahan PAN menjadi undang-undang. 
Pengelolaan keuangan negara subbidang pengelolaan moneter berkaitan dengan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan sector perbankan dan lalu lintas moneter baik dalam maupun luar negeri.
Pengelolaan keuangan negara subbidang kekayaan Negara yang dipisahkan berkaitan dengan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan di sektor Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD) yang orientasinya mencari keuntungan (profit motive). 
Berdasarkan uraian di atas, pengertian keuangan negara dapat dibedakan antara: pengertian keuangan negara dalam arti luas, dan pengertian keuangan negara dalam arti sempit. Pengertian keuangan negara dalam arti luas pendekatannya adalah dari sisi objek yang cakupannya sangat luas, dimana keuangan negara mencakup kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Sedangkan pengertian keuangan negara dalam arti sempit hanya mencakup pengelolaan keuangan negara subbidang pengelolaan fiskal saja. 
2. Asas-asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Aturan pokok Keuangan Negara telah dijabarkan ke dalamasas-asas umum, yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan penerapan kaidah-kaidah yang baik (best practices) dalam pengelolaan keuangan negara. Penjelasan dari masing-masing asas tersebut adalah sebagaiberikut.
a.    Asas Tahunan, memberikan persyaratan bahwa anggaran Negara dibuat secara tahunan yang harus mendapat persetujuan dari badan legislatif (DPR).
b. Asas Universalitas (kelengkapan), memberikan batasan bahwa tidak diperkenankan terjadinya percampuran antara penerimaan negara dengan pengeluaran negara.
c. Asas Kesatuan, mempertahankan hak budget dari dewan secara lengkap, berarti semua pengeluaran harus tercantum dalam anggaran. Oleh karena itu, anggaran merupakan anggaran bruto, dimana yang dibukukan dalam anggaran adalah jumlah brutonya.
d. Asas Spesialitas mensyaratkan bahwa jenis pengeluaran dimuat dalam mata anggaran tertentu/tersendiri dan diselenggarakan secara konsisten baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kuantitatif artinya jumlah yang telah ditetapkan dalam mata anggaran tertentu merupakan batas tertinggi dan tidak boleh dilampaui. Secara kualitatif berarti penggunaan anggaran hanya dibenarkan untuk mata anggaran yang telah ditentukan.
e. Asas Akuntabilitas berorientasi pada hasil, mengandung makna bahwa setiap pengguna anggaran wajib menjawab dan menerangkan kinerja organisasi atas keberhasilan atau kegagalan suatu program yang menjadi tanggung jawabnya.
f. Asas Profesionalitas mengharuskan pengelolaan keuangan negara ditangani oleh tenaga yang profesional.
g. Asas Proporsionalitas; pengalokasian anggaran dilaksanakan secara proporsional pada fungsi-fungsi kementerian/lembaga sesuai dengan tingkat prioritas dan tujuan yang ingin dicapai.
h. Asas Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, mewajibkan adanya keterbukaan dalam pembahasan, penetapan, dan perhitungan anggaran serta atas hasil pengawasan oleh lembaga audit yang independen.
i. Asas Pemeriksaan Keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri, memberi kewenangan lebih besar pada Badan Pemeriksa Keuangan untuk melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara secara objektif dan independen. 
Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahan daerah. Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam undang-undang tentang Keuangan Negara, pelaksanaan undang-undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
3. Ruang Lingkup Keuangan Negara
Ruang lingkup keuangan negara meliputi:
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. penerimaan negara;
d. pengeluaran negara;
e. penerimaan daerah;
f. pengeluaran daerah;
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;  
i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah; dan
j. kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah.
 
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas secara ringkas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
 
Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi enam fungsi, yaitu:
a. Fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal. Fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal ini meliputi penyusunan  Nota Keuangan dan RAPBN, serta perkembangan dan perubahannya, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan perkembangan ekonomi makro, pendapatan negara, belanja negara, pembiayaan, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan perkembangan fiskal dalam rangka kerjasama internasional dan regional, penyusunan rencana pendapatan negara, hibah, belanja negara dan pembiayaan jangka menengah, penyusunan statistik, penelitian dan rekomendasi kebijakan di bidang fiskal, keuangan, dan ekonomi.
b. Fungsi penganggaran. Fungsi ini meliputi penyiapan, perumusan, dan pelaksanaan kebijakan, serta perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, prosedur dan pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang APBN.
c. Fungsi administrasi perpajakan.
d. Fungsi administrasi kepabeanan.
e. Fungsi perbendaharaan.
Fungsi perbendaharaan meliputi perumusan kebijakan, standard, sistem dan prosedur di bidang pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara, pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah serta akuntansi pemerintah pusat dan daerah, pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara, pengelolaan kas negara dan perencanaan penerimaan dan pengeluaran, pengelolaan utang dalam negeri dan luar negeri, pengelolaan piutang, pengelolaan barang milik/kekayaan negara (BM/KN), penyelenggaraan akuntansi, pelaporan keuangan dan sistem informasi manajemen keuangan pemerintah.
f. Fungsi pengawasan keuangan.
 
Sementara itu, bidang moneter meliputi sistem pembayaran, sistem lalu lintas devisa, dan sistem nilai tukar. Adapun bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan meliputi pengelolaan perusahaan negara/daerah.

Sabtu, 26 Oktober 2013

pacu investasi

Dewasa ini terdapat dua hal strategis yang tengah kita laksanakan dalam perekonomian nasional, yaitu peningkatan investasi dan industrialisasi.

Kedua hal ini sangat penting tidak hanya untuk meningkatkan daya saing nasional di tengah kompetisi kawasan dan global, melainkan juga untuk membantu pencapaian agenda pembangunan nasional: pengentasan masyarakat dari kemiskinan, penciptaan lapangan usaha dan kerja baru, pemerataan pembangunan, dan peningkatan kesejahteraan.

Kedua strategi pembangunan nasional tersebut juga ditujukan untuk membuat perekonomian Indonesia tidak terjebak dengan apa yang kita sebut sebagai middle-income trapdalam jangka menengah dan panjang.

Meski masih terdapat ruang dan peluang untuk lebih kompetitif, sejumlah data pertumbuhan investasi dan industrialisasi di Indonesia telah menunjukkan tren positif. Beberapa waktu yang lalu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) merilis data, terdapat pertumbuhan realisasi investasi selama kuartal III/ 2013 yang menembus Rp100 triliun atau naik 22,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Sementara secara akumulatif Januari–September 2013, realisasi investasi telah mencapai di atas Rp293 triliun atau meningkat 27,6 persen. Target realisasi investasi tahun 2013 sebesar Rp390 triliun sepertinya akan terpenuhi dengan tingginya minat investasi baru maupun ekspansi baik dalam bentuk penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA) di Indonesia.

Bila kita melihat komposisi investor dalam maupun luar negeri, investor dalam negeri memiliki pertumbuhan yang jauh lebih tinggi. Hal ini menunjukkan pengusaha lokal telah memiliki kapasitas jauh lebih besar dibandingkan periode sebelumnya untuk berinvestasi.

Pertumbuhan PMDN selama kuartal III/2013 sebesar 32,9 persen jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan PMA yang sebesar 18,4 persen. Sementara itu terdapat beberapa sektor yang memiliki pertumbuhan investasi tertinggi seperti industri pertambangan, listrik, gas, industri makanan, konstruksi, industri kimia dan logam dasar, mesin dan elektronik, serta angkutan dan transportasi.

Tingginya minat investasi di Indonesia merupakan gabungan dari beberapa faktor seperti ketersediaan bahan baku alam, besarnya pasar domestik, keseriusan pembenahan dan perbaikan doing business, kejelasan proyek pembangunan yang ditawarkan dalam MP3EI, serta potensi ke depan perekonomian nasional.

Investasi juga menjadi motor pertumbuhan penting bagi Indonesia selain konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah. Selain itu, realisasi investasi selama kuartal III/2013 juga mampu menyerap lapangan kerja sebesar 411.543 secara langsung. Selain itu, hadirnya investasi di banyak daerah di Indonesia juga memberikan peluang kerja sama usaha dan kemitraan strategis dengan perusahaan yang telah ada. Hal ini sangat positif, khususnya untuk menggairahkan perekonomian di daerah.

Terdapat tren yang sangat baik dalam pola investasi di Indonesia beberapa waktu terakhir. Porsi investasi di sektor manufaktur dan industri pengolahan meningkat signifikan dibandingkan beberapa waktu berselang. Investasi mulai bergeser dari sektor primer ke sektor sekunder. Tren ini juga sejalan dengan misi nasional untuk memperkuat industrialisasi di Indonesia. Melalui industrialisasi dan hilirisasi, pengolahan sumber daya alam dapat lebih bernilai tambah dan memberikan andil lebih besar pada pendapatan negara dan kesejahteraan masyarakat.

Melalui kebijakan industrialisasi dan hilirisasi, investasi di Indonesia akan lebih berkelanjutan dan mendorong ekonomi nasional lebih berdaya saing lagi. BPS beberapa waktu lalu memublikasikan data yang cukup menggembirakan. Selama kuartal III/2013, pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang di Indonesia mencapai 6,83 persen. Pertumbuhan ini lebih tinggi daripada pertumbuhan kuartal II/2013 yang tercatat sebesar 6,77 persen.

Sementara pada kuartal I/2013 terdapat pertumbuhan sebesar 8,99 persen dan dalam kuartal IV/ 2012 mampu tumbuh di atas 11,10 persen. Pertumbuhan produksi industri manufaktur memang menurun seiring dengan perlambatan ekonomi, tetapi pertumbuhannya tetap di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini juga menunjukkan Indonesia telah masuk ke fase industrialisasi dan sedang memperkuat struktur industri nasional.

Terdapat beberapa sektor yang memiliki pertumbuhan produksi yang cukup tinggi selama kuartal III/2013 seperti industri percetakan dan rekaman (11,82 persen), pakaian jadi (9,32 persen), kendaraan bermotor (8,69 persen), furnitur (8,28 persen), peralatan listrik (8,12 persen), komputer dan barang elektronik (8,06 persen).

Meskipun Pulau Jawa masih mengambil porsi sangat besar, data BPS juga menunjukkan kenaikan produksi industri manufaktur tertinggi berdasarkan provinsi hampir seluruhnya ada di luar Pulau Jawa seperti Kepulauan Riau (16,18 persen), Gorontalo (11,36 persen), Sulawesi Barat (11,01 persen), Maluku (9,77 persen), Bengkulu (9,58 persen).

Hal ini menunjukkan luar Jawa juga memiliki daya tarik dan peluang investasi yang sangat besar dan tidak terbatas hanya di sektor primer dan pertambangan. Selain itu, industri manufaktur mikro dan kecil selama kuartal III/2012 juga menunjukkan pertumbuhan positif sebesar 4,86 persen.

Pertumbuhan ini disumbang sejumlah sektor seperti komputer dan barang elektronik (19,20 persen), jasa reparasi dan pemasangan mesin (16,30 persen), makanan (15,03 persen), serta logam dasar (13,56 persen). Secara regional, terdapat beberapa provinsi yang memiliki pertumbuhan tertinggi seperti Maluku Utara (25,55 persen), kemudian Bali (25,08 persen), Kalimantan Selatan (22,35 persen), Gorontalo (15,48 persen), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (12,53 persen). Semakin tumbuhnya produksi industri kecil dan mikro juga menunjukkan industrialisasi berjalan secara paralel baik besar-menengah maupun kecil-mikro.

Ke depan, kita perlu terus memperkuat iklim berinvestasi dan berusaha di Indonesia. Upaya untuk terus mendorong investasi dan industrialisasi dilakukan melalui serangkaian kebijakan dari penyederhanaan prosedur dan perizinan investasi, percepatan pembangunan infrastruktur, pemberian stimulus untuk berinvestasi sampai dengan kegiatan investorsummit. Beberapa waktu lalu, pemerintah juga mengeluarkan 17 paket kebijakan melengkapi 4 paket kebijakan yang telah dikeluarkan sebelumnya. Upaya ini perlu diikuti segenap pemerintah daerah untuk memudahkan dan menyederhanakan perizinan dan prosedur berinvestasi dengan tetap memperhatikan peraturan dan ketentuan yang ada.

Kolektivitas dari sisi regulator dan pengambil kebijakan akan membuat investasi dan industrialisasi semakin deras mengalir dan ekonomi nasional akan semakin lebih kuat karena ditopang dengan struktur industri dan produksi yang lebih terintegrasi.

Jumat, 25 Oktober 2013

kerugian negara

OLEMIK mengenai kerugian (keuangan) negara dalam aktivitas bisnis terutama yang dilaksanakan oleh badan usaha milik negara (BUMN) muncul ketika Undang-Undang Pemberantasan Korupsi (UU Tipikor) Tahun 1999 mencantumkan, kerugian keuangan negara merupakan salah satu unsur dari tindak pidana korupsi (Pasal 2 dan Pasal3).

Penyusun UU Tipikor 1999 tidak mengantisipasi bakal terjadi polemik tersebut dengan pertimbangan bahwa korupsi identik dan melekat pada jabatan negara juga melekat pada penerimaan dan pengeluaran dana APBN/APBD serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Namun, penjelasan Pasal 2 dan Pasal 3 tidak menjelaskan makna dari pengertian istilah “kerugian keuangan negara” sehingga menimbulkan tafsir berbeda-beda baik dari sudut pandang hukum keuangan negara maupun hukum administrasi negara dan hukum pidana.

Polemik sering hanya mempersoalkan definisi tentang kerugian keuangan negara implisit di dalamnya terkait definisi keuangan negara. Sedangkan dalam konteks UU Tipikor 1999, kerugian keuangan negara merupakan akibat dari perbuatan yang bersifat melawan hukum (unsur pertama) dan terdakwa, orang lain atau korporasi telah turut menikmati keuntungan dari perbuatan melawan hukum sehingga negara dirugikan.

Intinya adalah kerugian keuangan negara tidak mutatis mutandis telah terbukti tindak pidana korupsi jika tidak terbuktiunsurmelawanhukumapalagi unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, apalagi tidak terbukti pula unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atausarana yang ada pada terdakwa karena jabatan atau kedudukannya. Dalam konteks pembuktian unsur kerugian keuangan negara justru polemik beralih kepada persoalan definisi keuangan negara, bukan pada kerugian keuangan negara.

Sejatinya, tidak ada relevansi antara persoalan kerugian keuangan negara dan persoalan apakah yang dimaksud dengan keuangan negara di sisi lain. Ini disebabkan persoalan terakhir berada pada ranah hukum administrasi keuangan negara yang telah diatur dalam baik UU RI Nomor 17 Tahun 2003, UU RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU RI Nomor 15 Tahun 2006 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Sekalipun terdapat dua persoalan hukum yang berbeda satu sama lain, tetapi kedua persoalan tersebut berkaitan ketika sampai pada pembuktian mengenai kerugian keuangan negara. Karena baik penyidik, penuntut, atau hakim memerlukan penjelasan mengenai arti istilah keuangan negara dari ahli hukum keuangan negara untuk membantu memperjelas dalam kaitan siapa bertanggung jawab terhadap apa.

Di sinilah letak kekeliruan para aktor yang berpolemik karena mereka hanya fokus pada unsur kerugian keuangan negara tanpa mempertimbangkan secara hati-hati dan teliti unsur lain dalam tindak pidana korupsi sebagaimana telah diuraikan di atas. Kekeliruan tafsir hukum yang disebabkan perbedaan optik pandang para ahli hukum keuangan dan ahli hukum administrasi, ahli hukum perdata, dan ahli hukum pidana terjadi disebabkan rumusan ketentuan mengenai definisi keuangan negara yang sangat luas.

Dengan begitu, identik dengan pengertian kekayaan negara yang merupakan genusnya, apalagi definisi tersebut mencakup dana yang diterima melalui penggunaan fasilitas negara. Perluasan terakhir mengakibatkan status BUMN dan pihak lain yang bekerja sama dengan BUMN berada pada status abuabu (grey-area).

Dari sudut hukum, status tersebut sangat rentan dan tidak ada kepastian perlindungan hukum terkait penguatan iklim bisnis yang sehat dan kompetitif. Kejernihan pemikiran dan kebijakan para ahli dan pengambil kebijakan serta penegak hukum termasuk hakim sangat diperlukan untuk mendudukan masalah kerugian keuangan negara pada umumnya, khususnya terkait fungsi dan peranan swasta terutama BUMN sebagai tulang punggung perekonomian negara Fungsi dan peranan hukum pidana yang benar adalah bersifat ultimum remedium yaitu hanya digunakan jika sanksi hukum administrasi dan sanksi hukum perdata tidak lagi dapat dipertahankan.

Fungsi dan peranan hukum pidana dapat bersifat primum remedium dalam tiga hal. Pertama, kerugian akibat perbuatan melawan hukum sangat besar. Kedua, kerugian tersebut tidak dapat dipulihkan. Ketiga, pelakunya recidivist(de Blunt). Dalam konteks kerugian keuangan negara sejalan dengan tiga undang-undang terkait keuangan negara telah ditegaskan bahwa penyelesaian kerugian keuangan negara sekalipun sebagai akibat perbuatan penyelenggara negara/daerah yang bersifat melawan hukum harus melalui jalur sanksi administratif yaitu pengembalian kerugiannegara yangdiawasiBPKRI.

Pintu masuk kerugian keuangan negara menjadi kerugian keuangan negara yang berindikasi pidana ditentukan oleh BPK RI, bukan oleh penyidik apalagi penuntut. Jika BPK RI berpendapat bahwa kerugian keuangan negara sebatas diperlukan tindakan administratif (administrative measures), penyidik dan penuntut tidak memiliki wewenang lebih jauh memasuki wilayah keuangan negara yang secara administratif merupakan wilayah pengawasan BPK RI.

Penyidik dan penuntut wajib menghormati langkah dan keputusan BPK RI karena lembaga ini satu-satunya lembaga konstitusional yang berwenang memeriksa keuangan negara, kinerja lembaga negara, dan atas harta kekayaan negara yang dipisahkan. Terkait kerugian keuangan negara dalam aktivitas BUMN sesungguhnya dalam UU RI Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN telah jelas diterangkan struktur organisasi dan mekanisme kerja BUMN yang tunduk pada kekuatan hukum UU RI Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, berbeda dengan suatu perusahaan umum (perum).

Indikasi pidana di dalam aktivitas BUMN atau perseroan terbatas lainnya memiliki alas hukum yang jelas, tercantum dalam ketentuan Pasal 155 UU tersebut yang menyatakan bahwa tanggung jawab (perdata) direksi atau anggota dewan komisaris tidak terlepas dari tuntutan pidana. Ketentuan ini kekeliruan yang sangat fatal dari pembentuk UU karena telah mencampuradukkan tanggung jawab perdata dan tanggung pidana yang sesungguhnya memiliki perbedaan mendasar satu sama lain.

Di sinilah letak kekisruhan dan polemik berkepanjangan terkait aktivitas bisnis di Indonesia sehingga tidak jelas lagi mana yang termasuk risiko bisnis dan risiko akibat perbuatan melawan hukum yang berindikasi pidana.